Entah sejak kapan mulainya, sudah lama manusia hidup hanya dengan
sebuah tema: memburu kemenangan, mencampakkan kekalahan. Di Jepang dan
berbagai belahan dunia lainnya, tidak sedikit manusia yang mengakhiri
hidupnya semata-mata karena kalah. Karena semua hal yang melekat pada
kekalahan serba negatif: jelek, hina.
Sekolah sebagai tempat di mana masa depan disiapkan rupanya
ikut-ikutan. Melalui program serba juara, sekolah ikut memperkuat
keyakinan bahwa ‘kalah itu musibah’. Tempat kerja juga serupa. Tidak ada
tempat kerja yang absen dari kegiatan sikut-sikutan. Semuanya mau
pangkatnya naik. Tidak ada yang mau turun. Lebih-lebih dunia politik,
kekalahan hanyalah kesialan. Dan bila boleh jujur, aroma seperti inilah
yang mewarnai Indonesia di awal April 2009 menjelang pemilu sekaligus
pilpres.
Kalah juga indah
Tidak
ada yang melarang manusia mengejar kemenangan. Kemenangan ibarat padi
bagi petani, seperti ikan buat nelayan. Ia pembangkit energi yang
membuat kehidupan berputar. Ia pemberi semangat agar manusia tidak
kelelahan. Namun seberapa besar pun energi maupun semangat manusia, bila
putaran waktunya kalah, tidak ada yang bisa menolaknya.
Oleh karena itulah, orang bijaksana belajar melatih diri untuk
tersenyum baik di depan kemenangan maupun kekalahan. Berjuang, berusaha,
bekerja, berdoa tetap dilakukan. Namun bila hadiahnya kekalahan, hanya
senyuman yang memulyakan perjalanan.
Membawa tropi sebagai simbol kemenangan itu indah. Dihormati karena
menang juga indah. Tapi tersenyum di depan kekalahan, hanya orang yang
pandangannya mendalam yang bisa melakukannya. Ibarat gunung,
pemenang-pemenang itu serupa dengan batu-batu di puncak gunung. Mereka
tidak bisa duduk di puncak gunung bila tidak ada batu-batu di dasar dan
lereng gunung (baca: pihak yang kalah).
Sebagian orang bijaksana malah bergumam, kekalahan lebih memulyakan
perjalanan dibandingkan kemenangan. Terutama karena di depan kekalahan
manusia sedang dilatih, dicoba, dihaluskan. Kekalahan di jalan ini
berfungsi seperti amplas yang menghaluskan kayu yang mau jadi patung
berharga mahal. Serupa pisau tajam yang sedang melukai bambu yang akan
jadi seruling yang mewakili keindahan.
Kesabaran, kerendahatian, ketulusan, keikhlasan, itulah
kualitas-kualitas yang sedang dibuka oleh kekalahan. Serangkaian hadiah
yang tidak mungkin diberikan oleh kemenangan. Ia yang sudah membuka
pintu ini, akan berbisik: kalah juga indah!. Itu sebabnya seorang guru
pernah berpesan: “0ld friends pass away, new friends appear. The most
important thing is to make it meaningful“. Semua datang dan pergi
(kemenangan, kekalahan, keberuntungan, kesialan), yang paling penting
adalah bagaimana mengukir makna dari sana.
Jarang terjadi ada manusia yang mengukir makna mendalam ditengah
gelimang kemenangan. Terutama karena kemenangan mudah sekali membuat
manusia tergelincir ke dalam kemabukan dan lupa diri.
Pengukir-pengukir
makna yang mengagumkan seperti Kahlil Gibran, Jalalludin Rumi,
Rabindranath Tagore, Thich Nhat Hanh semuanya melakukannya di
tengah-tengah kesedihan. HH Dalai Lama bahkan menerima hadiah nobel
perdamaian sekaligus penghargaan sebagai warga negara kelas satu oleh
senat AS, setelah melewati kesedihan dan kekalahan selama puluhan tahun
di pengasingan.
Memaknai kekalahan
Mengukir makna memang berbeda dengan mengukir kayu. Dalam setiap
konstruksi makna terjadi interaksi dinamis antara realita sebagaimana
apa adanya dengan kebiasaan seseorang mengerti (habit of undestanding).
Ia yang biasa mengerti dalam perspektif tidak puas, serba kurang,
menuntut selalu lebih, akan melihat kehidupan yang tidak menyenangkan di
mana-mana. Sebaliknya, ia yang berhasil melatih diri untuk selalu
bersyukur, ikhlas, tulus lebih banyak melihat wajah indah kehidupan.
Belajar dari sini, titik berangkat dalam memaknai kekalahan adalah
melihat kebiasaan kita dalam mengerti. Dalam bahasa seorang kawan: the
blueprint is found within our mind. Membiarkan kemarahan dan
ketidakpuasan mendikte pengertian, hanya akan memperpanjang daftar
panjang penderitaan yang sudah panjang.
Seorang guru mangambil sebuah gelas yang berisi air, kemudian meminta
muridnya memasukkan sesendok garam ke dalamnya dan diaduk. Setelah
dicicipi ternyata asin rasanya. Setelah itu, guru ini membawa murid yang
sama ke kolam luas lagi-lagi dengan sesendok garam yang dicampurkan ke
air di kolam. Kali ini rasa air tidak lagi asin.
Inilah yang terjadi dengan batin manusia. Bila batinnya sempit dan
rumit (fanatik, picik, mudah menghakimi) maka kehidupan menjadi mudah
asin rasanya (marah, tersinggung, sakit hati). Tatkala batinnya luas
tidak terbatas, tidak ada satu pun hal yang bisa membuat kehidupan jadi
mudah asin rasanya.
Dengan modal seperti ini, lebih mudah memaknai kekalahan bila manusia
sudah berhasil mendidik diri berpandangan luas sekaligus bebas.
Berusaha, bekerja, belajar, berdoa itu adalah tugas-tugas kehidupan.
Namun seberapa pun kehidupan menghadiahkan hasil dari sini, peluklah
hasilnya seperti kolam luas memeluk sesendok garam (baca: tanpa rasa
asin).
Apa yang kerap disebut menang-kalah, sukses-gagal dan bahkan
hidup-mati, hanyalah wajah-wajah putaran waktu. Persis ketika jam
menunjukkan sekitar jam enam pagi, waktunya matahari terbit. Bila jam
enam sore putaran waktu matahari tenggelam. Memaksa agar jam enam pagi
matahari tenggelam, tidak saja akan menjadi korban canda tetapi juga
korban karena kecewa.
Maafkanlah bila terdengar aneh. Pejalan kaki ke dalam diri yang sudah
teramat jauh bila ditanya mau kaya atau miskin, ia akan memilih miskin.
Bila diminta memilih antara menang dan kalah, ia akan memilih kalah.
Kaya tentu saja berkah, namun sedikit ruang-ruang latihan di sana.
Miskin memang ditakuti banyak orang, namun kemiskinan menghadirkan daya
paksa yang tinggi untuk senantiasa rendah hati. Menang memang
membanggakan, namun godaan ego dan kecongkakannya besar sekali. Kalah
memang tidak diinginkan nyaris semua orang, tetapi kekalahan adalah
ibunya kesabaran.
Seorang guru meditasi yang sudah sampai di sini pernah berbisik,
finally l realize there is no difference between mind and sky. Inilah
buah meditasi. Batin menjadi seluas langit. Tidak ada satu pun awan
(awan hitam kesedihan, awan putih kebahagiaan) yang bisa merubah langit.
Dan ini lebih mungkin terjadi dalam manusia yang sudah berhasil
memaknai kekalahan.
General Source:
http://www.inspirasidaily.com
No comments:
Post a Comment